HADIS merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Hadis adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Jenis-jenis hadis yang penting dipahami adalah jenis hadis berasal dari keasliannya. Klasifikasi tingkat keaslian hadis adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadis tersebut. BACA JUGA Evolusi Ilmu Hadis Jenis-jenis hadis berdasarkan keasliannya dibagi dalam sejumlah kategori. Berikut jenis-jenis hadis tersebut 1 Hadis Sahih Hadis Sahih merupakan hadis dengan tingkatan tertinggi penerimaannya. Sebuah hadis diklasifikasikan sebagai sahih jika memenuhi kriteria Sanadnya bersambung yang artinya diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah kehormatan-nya, dan kuat ingatannya. Pada saat menerima hadis, masing-masing rawi telah cukup umur baligh dan beragama Islam. Matannya tidak bertentangan serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis. Hadis Sahih terbagi menjadi dua yaitu Sahih Lizatihi, yakni hadis yang sahih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan lain dan Sahih Lighairihi, yakni hadis yang sahihnya kerana diperkuat dengan keterangan lain. 2 Hadis Hasan Hadis Hasan merupakan hadis yang sanadnya bersambung, tetapi ada sedikit kelemahan pada rawi-rawinya. Misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat. Menurut Imam Tirmidzi, hadits Hasan adalah hadits yang tidak berisi informasi yang bohong, tidak bertentangan dengan hadits lain dan Al-Qur’an dan informasinya kabur, serta memiliki lebih dari satu Sanad. Perbedaan hadits Shahih dan hasan terletak pada kedhabithannya. Jika hadits Shahih tingkat dhabithnya harus tinggi, maka hadits hasan tingkat kedhabithannya berada dibawahnya. 3 Hadis Dhaif Hadis Dhaif merupakan hadis yang sanadnya tidak bersambung dapat berupa hadis mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal, atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat. Hadis ini adalah kategori hadis yang tertolak dan tidak dapat dinyatakan kebenarannya berasal dari perkataan atau perbuatan Nabi. Hadis Dhaif termasuk kategori hadis lemah karena terputusnya rantai periwayatan sanad dan adanya kelemahan pada seorang atau beberapa orang penyampai riwayat perawi hadis tersebut. Terdapat berbagai tingkatan derajat hadis lemah, mulai dari yang lemahnya ringan hingga berat. Di antara macam-macam tingkatan hadis yang dikategorikan lemah, seperti 4 Hadis Mursal Hadis yang disebutkan oleh Tabi’in langsung dari Rasulullah tanpa menyebutkan siapa shahabat yang melihat atau mendengar langsung dari Rasul. 5 Hadis Mu’dhol Hadis yang dalam sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang tidak dicantumkan secara berurut. 6 Hadis Munqath Semua hadis yang sanadnya tidak bersambung tanpa melihat letak dan keadaan putusnya sanad. Setiap hadis Mu’dhal adalah Munqathi, namun tidak sebaliknya. 7 Hadis Mudallas Seseorang yang meriwayatkan dari rawi fulan sementara hadis tersebut tidak didengarnya langsung dari rawi fulan tersebut, namun ia tutupi hal ini sehingga terkesan seolah ia mendengarnya langsung dari rawi fulan. 8 Hadis Mu’an’an Hadis yang dalam sanadnya menggunakan riwayat seseorang dari seseorang. 9 Hadis Mudhtharib Hadis yang diriwayatkan melalui banyak jalur dan sama-sama kuat, masing-masingnya dengan lafal yang bertentangan serta tidak bisa diambil jalan tengah. 10 Hadis Syadz Hadis yang menyelisihi riwayat dari orang-orang yang tsiqah tepercaya. Atau didefinisikan sebagai hadis yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur namun perawinya tersebut kurang tepercaya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan hadis. BACA JUGA Hadist, Kenapa Harus Shahih Bukhari dan Muslim? 11 Hadis Munkar Hadis yang diriwayatkan oleh perawi kategori lemah yang menyelisihi periwayatan rawi-rawi yang tsiqah. 12 Hadis Matruk Hadis yang di dalam sanadnya ada perawi yang tertuduh berdusta. 13 Hadis Maudlu’ Hadis Maudlu’ merupakan hadis palsu yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Sebuah hadis dikatakan Hadis Maudlu’ jika hadis dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta. Meski makna hadis palsu bisa baik, namun hadis ini bukanlah perkataan atau perbuatan Rasulullah. Berbeda dengan hadis dhaif yang bersifat lemah, hadis Maudlu’ sudah terbukti bukanlah hadis dari Rasulullah. Biasanya isi Hadis Maudlu’ bertentangan dengan ayat Al Quran atau hadis lain yang sahih. []
13Hadits Tentang Bid'ah. AlQuranPedia.Org - Secara bahasa bid'ah artinya perkara baru. Sementara di dalam istilah syar'i bid'ah adalah suatu amalan baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Hadits mengenai bid'ah sangatlah masyhur dan sangat banyak sekali di dalam riwayat-riwayat.
Ilustrasi Hikmah yang Terkandung dalam Hadis yang Melarang Kita Berlebihan dalam Menggunakan Air Wudhu, Foto Unsplash David BeckerHadits yang Melarang untuk Berlebihan dalam Menggunakan Air WudhuIlustrasi Hikmah yang Terkandung dalam Hadis yang Melarang Kita Berlebihan dalam Menggunakan Air Wudhu, Foto Unsplash J KHikmah yang Terkandung dalam Hadis yang Melarang Kita Berlebihan dalam Menggunakan Air WudhuIlustrasi Hikmah yang Terkandung dalam Hadis yang Melarang Kita Berlebihan dalam Menggunakan Air Wudhu, Foto Unsplash Jong Marshes
Mengetahuiperiwayatan yang diterima (maqbul) dan yang tertolak (mardud) 2.3 Cabang-CabangIlmuHadits. Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di taqyid (pembatasan ) yang mutlak, takhshish al-'am (pengkususan yang umum), atau
Oleh Nabila Asy-Syafi’i عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللَّهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ Hadis – Dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah, Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-ngadakan dalam urusan kami agama kami sesuatu yang bukan merupakan perkara agama maka ia tertolak”. HR. al-Bukhari dan Muslim Dalam riwayat Muslim “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak“. KANDUNGAN HADITS Kata ” رَدٌّ” raddun menurut ahli bahasa adalah tertolak atau tidak sah. لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا “Bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim [singkat namun penuh makna], yang dikarunikan kepada Rasulullah SAW. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara dalam urusan agama yang direkayasa. Melalui hadits ini, kemurnian Islam terjaga dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini menyatakan dengan jelas keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik diciptakan sendiri maupun mengikuti orang lain. Al Allamah Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan dalam tanya jawabnya, secara bahasa, bid’ah artinya adalah al-mubtadi’ alladzi ya’ti amran ala syubhin lam yakun orang yang melakukan bid’ah adalah orang yang mendatangkan perkara yang belum ada penggambaran sebelumnya; wa abda’ta asy syai’a ikhtara’tahu la ala mitsalin dan Anda melakukan bid’ah, yaitu Anda melakukan inovasi yang tidak ada contohnya. Artinya di situ ada contoh yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan seorang muslim melakukan dengan menyalahinya. Jadi, bid’ah adalah menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh syariah untuk menunaikan perintah syara’. Makna ini ditunjukkan oleh hadits yang seringkali dijadikan dalil tentang bid’ah. “Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak ada ketentuan kami atasnya maka tertolak.” HR al-Bukhari dan Muslim Contoh, barang siapa sujud tiga kali dalam salatnya dan bukan dua kali, maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab, dia menyalahi apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Siapa yang melempar jumrah 8 kali lemparan dan bukan 7 lemparan maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab ia juga menyalahi apa yang dicontohkan Rasul SAW. Siapa yang menambahi lafal adzan atau menguranginya, maka ia telah melakukan bid’ah, sebab ia menyalahi adzan yang dicontohkan atau telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Imam Muslim telah mengeluarkan hadis dari Aisyah ra, dimana beliau menggambarkan shalat Rasulullah SAW, Aisyah ra, berkata “Rasulullah SAW jika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau tidak sujud hingga tegak berdiri, dan jika beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk tegak…” Di dalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang Muslim setelah bangkit dari ruku’, ia tidak sujud hingga ia berdiri tegak, dan jika mengangkat kepala dari sujud, ia tidak sujud lagi hingga ia duduk tegak. Tata cara ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Maka siapa saja yang menyalahi tata cara yang dijelaskan dalam hadis ini, ia telah melakukan bid’ah. Jadi, jika seseorang yang sedang shalat bangkit dari ruku’, kemudian sujud sebelum berdiri tegak, maka ia telah melakukan bid’ah. Sebab ia menyalahi tata cara yang telah dijelaskan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bid’ah ini adalah sesat dan pelakunya berdosa besar. Sedangkan menyelisihi perintah syariah yang tidak ditentukan tata caranya namanya bukan bid’ah, tetapi menyalahi hukum syariah. Menyalahi atau penyimpangan seperti ini tidak dikatakan bid’ah, tetapi jika berkaitan dengan hukum taklifi wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah, maka dihukumi makruh atau haram. Jika berkaitan dengan hukum wadh’i, maka dihukumi fasad atau bathil. Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Ubadah bin Shamitra., ia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda “Rasulullah saw melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, shorghum dengan shorghum, kurma dengan kurma; dan garam dengan garam, kecuali harus sama, berupa bendanya dengan bendanya. Siapa saja yang menambah atau minta tambah, maka sungguh telah berbuat riba.” Seandainya seorang Muslim menyalahi hadis ini, lalu ia menjual emas dengan emas tapi ada kelebihan harga satu dengan yang lain, dan timbangannya tidak sama, maka ia tidak disebut telah melakukan bid’ah, tetapi disebut telah melakukan keharaman yakni riba. Oleh karena itu, yang terkait dengan perkembangan saint dan teknologi, semisal komputer, alat transportasi dan komunikasi, maka semua itu bukan terkategori bid’ah, dan bukan pembahasan bid’ah namun terkait dengan sarana dan prasarana untuk kemudahan hidup, yang hukumnya adalah mubah. Allahu a’lam.
Hadisyang telah diamalkan atau ditaati oleh umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw. hidup ini oleh ahli hadist disebut sebagai sunnah muttaba'ah ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran hadis. Meskipun pada masa itu hadis berada pada ingatan para sahabat, tetapi ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya loading...Buku Dahsyatnya Hari Kiamat karya Ibnu Katsir menggambarkan Dajjal dapat menyentuh awan, menyelam laut sampai kedua lututnya. Ilustrasi/Ist DALAM buku " Dahsyatnya Hari Kiamat " karya Ibnu Katsir dipaparkan dua hadits yang panjang tentang Dajjal yang muncul menjelang hari kiamat dengan opini Syaikh adz Dzahabi. Ini yang disebutnya sebagai hadits yang tertolak,Hadits pertama memaparkan, "Dajjal dapat menyentuh awan, menyelam laut sampai kedua lututnya, mengubah matahari ke arah barat, dan bukit bukit berjalan bersamanya sebagai makanan. Di kening Dajjal terdapat tanduk yang ujungnya retak dan keluar ular-ular. Di tubuhnya tergambar seluruh jenis senjata sampai tombak, pedang, dan ad-daraq.' Baca Juga Menurut Ibnu Katsir , diskripsi ini sampaikan Syaikh al Hafizh adz Dzahabi berdasarkan ijazah rekomendasi atau sima'an mendengar “Abu al Hasan al Yunini mengabarkan kepada kami, al Baha' Abdurrahman menuturkan kepada kami secara hadir, Atiq bin Muhsaila' bercerita kepada kami, Abdul Wahid bin Ulwan mengabarkan kepada kami, Amru bin Dausah bercerita kepada kami, Ahmad bin Sulaiman an Najad menuturkan kepada kami, Muhammad bin Ghalib bercerita kepada kami, Abu Salamah at Tabudzaki mengabarkan kepada kami, Hammad bin Salamah bertutur kepada kami, Ali bin Zaid bercerita kepada kami dari al Hasan seraya berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “"Dajjal dapat menyentuh awan, menyelam laut sampai kedua lututnya, mengubah matahari ke arah barat, dan bukit bukit berjalan bersamanya sebagai makanan. Di kening Dajjal terdapat tanduk yang ujungnya retak dan keluar ular-ular. Di tubuhnya tergambar seluruh jenis senjata sampai tombak, pedang, dan ad-daraq."Aku bertanya kepada al Hasan “Wahai Abu Said, apa arti ad-daraq?' Ia menjawab “Perisai .” Selanjutnya, Syaikh adz Dzahabi berkata, “Ini termasuk marasil hadis hadis mursal al Hasan dan marasil itu lemah.” Baca Juga Hadis Khurafat Ibnu Mundah mengatakan dalam Kitab al Iman, "Muhammad bin Husain al Madani menuturkan kepada kami dari Ahmad bin Mahdi, dari Said bin Sulaiman bin Sa'dun, dari Khalif bin Khalifah, dari Abu Malik al Asyja'i, dari Rab'i, dari Hudzaifah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda “Aku lebih tahu dari Dajjal apa yang dibawanya. Dajjal memiliki dua sungai, salah satunya api yang menyala nyala di pandangan orang yang melihatnya dan yang lainnya adalah air putih. Siapa yang di antara kalian mendapatkan bertemu dengan Dajjal, hendaknya memejamkan mata dan minum dari sungai yang terlihat seperti api karena sesungguhnya sungai itu berisi air dingin. Jauhilah oleh kalian sungai yang lain karena merupakan fitnah. Ketahuilah bahwasanya di antara kedua mata Dajjal ada tulisan KAFIR yang dapat dibaca oleh setiap orang mukmin yang mampu membaca maupun salah satu matanya datar dan di atasnya ada daging. Pada akhir umurnya, Dajjal muncul di atas lembah Yordania di atas celah Afiq. Setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat berada di lembah Yordania. Sesungguhnya, kaum Muslimin akan terbunuh sepertiganya, sepertiganya kalah, dan tersisa sepertiganya lagi lalu malam menghalangi antara mereka sehingga orang mukmin berkata kepada yang lainnya "Apa yang kalian tunggu, bukankah kalian akan bertemu saudara-saudara kalian dalam keridhaan Allah? Siapa yang memiliki kelebihan makanan, hendaknya ia memberikan kepada saudaranya, dirikan shalat ketika fajar menyingsing, segerakan shalat, dan setelah itu temuilah musuh kalian'' Rasulullah SAW bersabda “Saat kaum Muslimin mendirikan shalat turunlah Isa bin Maryam. Saat itu imam mereka masih mendirikan shalat.' Usai shalat, imam kaum Muslimin mengatakan seperti ini “Lapangkanlah antara aku dan musuh Allah". Nabi meneruskan “Tidak lama kemudian Dajjal meleleh seperti garam mencair lalu Allah memberikan kekuasaan kepada kaum Muslimin sehingga berhasil membunuh musuh musuh Allah sampai batu dan pohon berseru “Wahai hamba Allah, wahai arang muslim! Ini orang Yahudi, bunuhlah ia!” Akhirnya, kaum Muslimin menang sehingga salib dapat dipatahkan, babi dibunuh, dan jizyah ditetapkan. Saat itulah, Allah mengelurkan Ya'juj dan Ma'juj lalu rombongan terdepan mereka minum dari danau dan kelompok terakhir datang saat rombongan pertama sudah menghabiskan air tersebut sehingga tidak menyisakan satu tetes pun lantas mereka berkata HaditsNabi tentang wanita tua tidak akan masuk Surga. Hadits ini mursal dari al-Hasan riwayat atTirmidzi dalam Syamaail Muhammadiyyah. Namun, ada jalur penguat lain yang lemah riwayat Anas dan Aisyah. Sehingga hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albaniy (Silsilah al-Ahaadits as-Shahihah nomor riwayat 2987 (6/486)). Secara garis besar, hadis ada dua klasifikasi. Pertama Al-Hadîts al-maqbûl, yakni hadis yang diterima, yang dijadikan dalil dan digunakan ber-hujjah. Kedua Al-Hadîts al-mardûd, yakni hadis yang ditolak, tidak bisa dijadikan dalil dan tidak bisa digunakan untuk ber-hujjah. Hadis yang diterima, yang bisa dijadikan dalil dan boleh digunakan untuk ber-hujjah adalah hadis shahih dan hasan. Jika tidak termasuk hadis shahih atau hasan, baik lidzâtihi maupun li ghayrihi, maka sebuah hadis dinilai sebagai hadis mardûd tertolak. Yang menjadikan suatu hadis diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matan-nya. Jika dari sanad hadis itu tidak hilang seorang perawi yang hilangnya menyebabkan perawi yang hilang itu tidak bisa ditetapkan adil, perawinya tidak dinilai cacat, matan-nya tidak lemah/rusak rakîk dan tidak menyalahi sebagian al-Quran atau as-sunnah mutawatirah atau ijmak yang qath’i, maka hadis tersebut diterima dan diamalkan serta dijadikan sebagai dalil syariah, baik apakah hadis itu shahih atau hasan. Adapun jika hadis itu tidak memiliki sifat-sifat tersebut maka hadis itu ditolak mardûd dan tidak dijadikan dalil. Hadis mardûd dalam istilah para ulama disebut dengan istilah hadîts dha’îf. Imam Ibnu Shalah di dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, setiap hadis yang di dalamnya tidak terhimpun sifat-sifat hadis shahih, tidak pula sifat-sifat hadis hasan yang telah disebutkan, maka merupakan hadis dha’îf. Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz III, setelah menyatakan definisi yang sama persis dengan definisi Imam Ibnu Shalah tersebut, beliau menjelaskan, hadis dha’îf itu adalah hadis yang tidak terbukti ke-tsiqah-an para perawinya, sebagian atau seluruhnya. Penyebabnya adalah ketidakjelasan pada keadaannya jahâlah fî hâlihim atau noda pada dirinya tentang kejujuran dan semacam itu yang mengharuskan adanya penafian keadilan dan ke-tsiqah-annya. Menurut Al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi dalam At-Taqyîdh wa al-Idhâh Syarh Muqaddimah Ibni Shalah, sifat-sifat yang tidak terpenuhi yang menjadikan hadis itu dha’îf ada enam sifat 1 bersambungnya sanad; 2 keadilan perawi; 3 keselamatan dari banyak keliru dan lupa; 4 datangnya hadis dari arah lain yang di dalam sanad-nya ada mastûr tetapi tidak banyak rancu; 5 keselamatan dari syadz; 6 keselamatan dari illat. Jika sebuah riwayat tidak memenuhi satu atau lebih sifat itu, maka ia dinilai sebagai hadis dha’îf. Atas dasar tidak terpenuhinya sifat hadis shahih atau hasan itu maka hadis dha’îf ada banyak bagian. Abu Hatim Ibnu Hibban al-Basti membicarakan panjang lebar tentang itu dan menyatakan ada 49 bagian hadis dha’îf. Menurut Ibnu Shalah, sederhananya yang menjadi patokan pembagian itu bahwa bagian yang tidak memenuhi satu sifat mulai yang pertama hingga keenam, lalu yang tidak memenuhi satu sifat bersama sifat lainnya, lalu yang tidak memenuhi tiga sifat dan seterusnya, hingga yang tidak memenuhi semua sifat itu dan ini merupakan jenis yang paling rendah. Dalam hal ini, Imam Ibnu Shalah menyatakan bahwa hadis mawdhû’ hadits palsu adalah hadits dha’îf yang paling buruk. Menurut Al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi, pernyataan tersebut adalah benar; bahwa janis paling buruk dari jenis hadis dha’îf adalah hadis mawdhû’ palsu. Sebab hadis itu dusta. Ini berbeda dengan yang tidak terpenuhi siat-sifat yang telah disebutkan sebab dari kosongnya sifat itu tidak mesti hadis itu dusta. Dengan demikian, seperti yang dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dalam At-Taqrîb, ke-dha’îf-an hadis itu berbeda-beda tingkatnya seperti halnya tingkat keshahihan hadis. Dalam Mushthalah al-Hadîts, ada berbagai sebutan untuk jenis hadis dha’îf seperti munqathi’, mu’allaq, mudhal, syâdz, mu’allal, munkar, mawdhû’, maqlûb, mudhtharib dan sebagainya. Inisebagimana dirinci dalam Mushthalah al-Hadîts. Dalam hal itu, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah I/338-340 menyatakan, bahwa di bawah hadis mardûd ada berbagai jenis hadis yang tidak keluar dari sifat-sifat berikut Pertama, al-mu’allaq. Ini adalah jenis hadis yang dari sanadnya gugur satu perawi atau lebih, secara berurutan sejak awal sanad; gugur secara jelas, tidak tersembunyi. Di dalamnya termasuk apa yang oleh seorang muhaddits atau al-mushannif disembunyikan semua sanadnya. Misalnya, dia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda atau berbuat demikian…” Kedua, al-mu’dhal. Ini adalah riwayat yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawi di satu tempat atau lebih. Di dalamnya termasuk apa yang di-irsâl-kan oleh tâbi’ at-tâbi’în. Misal, ketika tâbi’ at-tâbi’în mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda…,” atau, “Rasulullah saw. melakukan begini…,” dan semacamnya. Intinya, mereka langsung menyandarkan hadis itu kepada Rasulullah saw. Namun demikian, tidak termasuk dalam jenis ini ucapan fukaha, “Rasulullah saw. bersabda…,” dan ucapan mereka, “Dari Rasulullah saw….” Sebab ucapan fukaha seperti itu bukanlah riwayat melainkan istisyhâd dan istidlâl, jadi boleh saja. Ketiga, al-munqathi’. Ini adalah hadis yang dari riwayatnya gugur satu perawi sebelum sahabat di satu tempat, di manapun, dan jika berbilang tempat dimana pada setiap tempat hanya satu perawi yang gugur sehigga menjadi munqathi’ pada beberapa tempat. Demikian juga termasuk munqathi’, hadis yang di dalamnya disebutkan perawi yang mubham samar/misterius. Misalnya, di dalam sanadnya disebutkan “…an rajul[in] dari seorang laki-laki…” tanpa disebutkan siapa orang itu. Keempat, asy-syâdz. Maknanya, seorang yang tsiqah meriwayatkan hadis yang menyalahi apa yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih tsiqah dari dirinya. Tidak termasuk syadz hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, yang tidak diriwayatkan oleh selain dia. Sebab apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah diterima walaupun tidak diriwayatkan oleh selain dia, dan boleh dijadikan hujjah. Jadi asy-syâdz hanyalah riwayat seorang tsiqah yang menyalahi apa yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah. Artinya, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbûl yang menyalahi perawi yang lebih râjih darinya. Kelima, al-mu’allal, yakni riwayat yang di dalamnya ada illat. Ini adalah hadis yang di dalamnya ada illat yang mencederai keshahihannya, sementara pada lahiriahnya selamat dari illat. Keenam, al-munkar. Ini adalah hadis yang diriwayatkan secara infirâd menyendiri oleh perawi yang tidak tsiqah. Jadi al-munkar adalah apa yang diriwayatkan oleh perawi dha’îf menyalahi perawi tsiqah. Ketujuh, al-mawdhû’ palsu, yakni hadis yang dibuat-buat. Ini adalah hadis dha’îf yang paling buruk. Sebuah hadis diketahui sebagai mawdhû’ dengan pengakuan pembuatnya, atau yang posisinya seperti pengakuan. Kadang kepalsuan itu dipahami dari qarînah kondisi perawi, seperti perawi mengikuti dalam kedustaan itu keinginan sebagian pemimpin, atau jatuhnya dia dalam isnâd-nya, sementara dia pendusta, di mana khabar itu tidak diketahui kecuali dari sisinya, dan tidak ada seorang pun yang mengikutinya tidak ada tâbi’ satu pun dan tidak ada syâhid. Kepalsuan hadis itu juga bisa dipahami dari keadaan apa yang diriwayatkan, yakni dari keadaan matan seperti rikâkah kelemahan/kerusakan lafal dan maknanya, atau karena menyalahi ayat al-Quran, as-Sunnah mutawatir atau ijmak yag qath’i. Ketujuh jenis itu hanyalah sebagian dari jenis hadîs mardûd, dan masih ada jenis-jenis lainnya. Yang harus diperhatikan, sebuah hadis tidaklah ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat-syarat shahih. Tentu selama sanad-nya, para perawi dan matannya diterima. Dengan demikian, hadis itu merupakan hadis hasan karena para perawinya kurang dari perawi shahih atau di dalamnya ada mastûr atau jelek hapalannya, tetapi dikuatkan dengan qarînah yang me-râjih-kan penerimaannya, misalnya dikuatkan dengan mutâbi’ atau syâhid. Jadi tidak boleh dibuat-buat dalam menolak hadis selama mungkin menerimanya sesuai ketentuan sanad, perawi dan matan. Apalagi jika hadis itu diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh para fukaha umumnya. Ia tetap diterima meskipun tidak memenuhi syarat-syarat shahih sebab hadis itu msuk dalam hadis hasan. Sebagaimana tidak boleh dibuat-buat daam menolak hadis, demikian juga tidak boleh tasâhul gampangan dalam menilai hadis sehingga menerima hadis yang mardûd karena sanad, perawi atau matannya Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, I/341. Status hadits dha’îf tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa diambil sebagai dalil atas hukum syariah. Ini adalah sesuatu yang disepakati oleh jumhur ulama dan fukaha. Termasuk keliru pendapat bahwa hadis dha’îf, jika datang dari beragam jalan yang dha’îf bisa naik ke derajat hadis hasan atau shahih. Sebab jika ke-dha’îf-an hadis itu karena kefasikan perawinya atau dia dituduh dusta secara riil, kemudian datang dari jalan-jalan lain yang sejenis maka justru menambah ke-dha’îf-an di atas ke-dha’îf-an. Adapun jika makna yang dikandung hadis dha’îf itu juga dikandung oleh hadis shahih atau hasan maka hadis shahih atau hasan itu yang dijadikan dalil dan digunakan sebagai hujjah. Adapun hadis dha’îf itu ditinggalkan. Oleh karena itu tidak boleh berdalil dengan hadits dha’îf sama sekali. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman] x4wwh. 389 57 318 389 84 64 40 34 201